CENG BENG (Qing Ming Jie)
Tradisi
ceng beng (qing ming jie) adalah tradisi wajib orang tionghoa. Ini
adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan setidaknya
sekali dalam setahun. Ceng beng selalu jatuh antara tanggal 5 April
(kalender masehi) setiap tahun, sepuluh hari sebelum dan sesudah
peringatan Ceng beng ini orang – orang pergi ke makam, rumah abu atau
pantai untuk berdoa bagi para leluhur yang telah meninggal. Semasa
peringatan Ceng beng inilah, makam – makam dibersihkan dan diperbaiki.
Makam
leluhur sangat penting artinya bagi orang tionghoa. Penentuan letak
makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi
fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini
dipercaya sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan
anggota keluarga lain yang ditinggalkan.
Ceng
beng adalah tradisi penting bagi masyarakat tionghoa, karena pada masa
inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan
memperingati leluhur mereka. Secara bergantian, mereka pun melakukan
ritual atau sembahyang (Ceng Beng) dengan berlutut di makam leluhurnya.
Pelaksanaan ritual mereka awali dengan membakar dupa. Buah-buahan dan
kue yang dibawa tadi, mereka letakkan tepat di depan pusara.
Selanjutnya, baju dan celana dari kertas dan uang kertas tersebut mereka
bakar.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4.
Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada
pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6
Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari
berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Pada
mulanya, tradisi Ceng beng dicetuskan oleh putra mahkota Chong Er dari
Dinasti Tang. Suatu hari karena difitnah oleh salah seorang selir raja,
Chong Er terpaksa melarikan diri ke gunung bersama para pengawalnya.
Kelaparan karena tidak membawa bekal makanan, salah seorang pengawal
bernama Jie Zhitui memotong bagian badannya dan memasaknya untuk sang
putra mahkota agar tidak mati kelaparan. Mengetahui pengorbanan pengawal
setianya itu, Chong Er merasa sedih, tetapi Jie menghibur sang putra
mahkota dan memintanya agar tetap teguh bertahan hingga Chong Er dapat
kembali ke istana dan merebut tahta dari selir raja yang telah
memfitnahnya.
Tiga
tahun lamanya mereka bertahan hidup dalam kelaparan di gunung hingga
akhirnya sang selir meninggal dunia. Sepasukan tentara menjemput Chong
Er untuk kembali ke istana, saat itu dia melihat Jie Zhitui mengemasi
sebuah tikar tua ke atas kuda. Chong Er mentertawakannya dan meminta Jie
untuk membuang tikar itu, tetapi Jie menolaknya dan berkata, “hanya
penderitaan yang dapat hamba bagi bersama paduka, bukan kemakmuran.” Jie
berpamitan kepada Chong Er untuk tetap tinggal di gunung bersama
ibunya.
Setelah
Chong Er kembali ke istana, dia bermaksud mengundang Jie Zhitui, tetapi
Jie tidak berhasil ditemukan. Chong Er memerintahkan tentara untuk
membakar hutan digunung itu agar Jie segera keluar menemuinya. Yang
terjadi malah sebaliknya, mereka menemukan Jie Zhitui mati bersama
ibunya dibawah pohon willow. Chong Er sangat sedih melihat pengawal
setianya itu malah mati karena keinginannya. Sejak itu Chong Er
memperingati hari itu sebagai hari Hanshi. Pada saat peringatan Hanshi
ini, kaisar tidak mengijinkan siapapun menyalakan api untuk memasak,
sehingga peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Perayaan Makanan
Dingin.
Pada
jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan
kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung
lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.
Tradisi ceng beng yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran
kertas, dan sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas
kuburan.
Kebiasaan
lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan
mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng
beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi
angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Konon, ada orang setelah
layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan
angin mengantarnya ke tempat nan jauh, hal itu dipercaya bisa menghapus
penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri
sendiri.
Kebiasaan
berikutnya adalah menancapkan pohon Willow: konon, kebiasaan
menancapkan dahan willow (pohon Yangliu), juga demi memperingati Shen
Nong Shi, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan.
Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan willow di bawah
teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Menurut kepercayaan kuno “Kalau
dahan willow hijau, berarti hujan rintik-rintik; kalau dahan willow
kering, berarti cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup sangat kuat,
dahannya cukup ditancapkan saja maka pohonnya bisa langsung hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar