Rabu, 11 April 2012

CENG BENG (Qing Ming Jie)

Tradisi ceng beng (qing ming jie) adalah tradisi wajib orang tionghoa. Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan setidaknya sekali dalam setahun. Ceng beng selalu jatuh antara tanggal 5 April (kalender masehi) setiap tahun, sepuluh hari sebelum dan sesudah peringatan Ceng beng ini orang – orang pergi ke makam, rumah abu atau pantai untuk berdoa bagi para leluhur yang telah meninggal. Semasa peringatan Ceng beng inilah, makam – makam dibersihkan dan diperbaiki.

Makam leluhur sangat penting artinya bagi orang tionghoa. Penentuan letak makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini dipercaya sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota keluarga lain yang ditinggalkan.
Ceng beng adalah tradisi penting bagi masyarakat tionghoa, karena pada masa inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan memperingati leluhur mereka. Secara bergantian, mereka pun melakukan ritual atau sembahyang (Ceng Beng) dengan berlutut di makam leluhurnya. Pelaksanaan ritual mereka awali dengan membakar dupa. Buah-buahan dan kue yang dibawa tadi, mereka letakkan tepat di depan pusara. Selanjutnya, baju dan celana dari kertas dan uang kertas tersebut mereka bakar.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Pada mulanya, tradisi Ceng beng dicetuskan oleh putra mahkota Chong Er dari Dinasti Tang. Suatu hari karena difitnah oleh salah seorang selir raja, Chong Er terpaksa melarikan diri ke gunung bersama para pengawalnya. Kelaparan karena tidak membawa bekal makanan, salah seorang pengawal bernama Jie Zhitui memotong bagian badannya dan memasaknya untuk sang putra mahkota agar tidak mati kelaparan. Mengetahui pengorbanan pengawal setianya itu, Chong Er merasa sedih, tetapi Jie menghibur sang putra mahkota dan memintanya agar tetap teguh bertahan hingga Chong Er dapat kembali ke istana dan merebut tahta dari selir raja yang telah memfitnahnya.
Tiga tahun lamanya mereka bertahan hidup dalam kelaparan di gunung hingga akhirnya sang selir meninggal dunia. Sepasukan tentara menjemput Chong Er untuk kembali ke istana, saat itu dia melihat Jie Zhitui mengemasi sebuah tikar tua ke atas kuda. Chong Er mentertawakannya dan meminta Jie untuk membuang tikar itu, tetapi Jie menolaknya dan berkata, “hanya penderitaan yang dapat hamba bagi bersama paduka, bukan kemakmuran.” Jie berpamitan kepada Chong Er untuk tetap tinggal di gunung bersama ibunya.
Setelah Chong Er kembali ke istana, dia bermaksud mengundang Jie Zhitui, tetapi Jie tidak berhasil ditemukan. Chong Er memerintahkan tentara untuk membakar hutan digunung itu agar Jie segera keluar menemuinya. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka menemukan Jie Zhitui mati bersama ibunya dibawah pohon willow. Chong Er sangat sedih melihat pengawal setianya itu malah mati karena keinginannya. Sejak itu Chong Er memperingati hari itu sebagai hari Hanshi. Pada saat peringatan Hanshi ini, kaisar tidak mengijinkan siapapun menyalakan api untuk memasak, sehingga peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Perayaan Makanan Dingin.
Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Tradisi ceng beng yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, dan sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan.
Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, hal itu dipercaya bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.
Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon Willow: konon, kebiasaan menancapkan dahan willow (pohon Yangliu), juga demi memperingati Shen Nong Shi, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan willow di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Menurut kepercayaan kuno “Kalau dahan willow hijau, berarti hujan rintik-rintik; kalau dahan willow kering, berarti cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan saja maka pohonnya bisa langsung hidup.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar