Rabu, 11 April 2012

dewa intu

Dewa Penjaga Pintu

Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula pada Dinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.
Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.

Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal.
Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut.
Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya.
Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.
Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal.
Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.
Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar.
Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang merubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.
Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya.
Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.
Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman.
Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.
Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak.
Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.
Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam.
Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.
Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

DEWA DAPUR

Dahulu kala tersebutlah seseorang yang bernama Zhao Wangye bermarga Zhang, sebenarnya dia seorang yang bertingkah laku buruk dan selalu melakukan kejahatan. Sebelum menjadi Zhao Wangye, dia adalah seorang yang pemalas, tidak bekerja dan gemar berjudi. Karena kegemarannya berjudi, ia dapat mempertaruhkan segala apa yang dimilikinya. Dia tidak memikirkan masa depannya.

Hingga pada suatu ketika, dia bertaruh (judi) dengan seseorang, bukan saja menghabiskan seluruh harta keluarga, lebih buruknya lagi istrinya pun dipertaruhkan. Oleh karena itu istrinya kemudian menikah lagi dengan seorang pencari kayu bakar.
Karena kalah berjudi itu habislah sudah seluruh harta benda keluarga yang dia miliki tanpa sisa bahkan dia masih memiliki sejumlah utang pada beberapa orang. Sampai suatu kali dia tidak dapat membeli makanan. Dia lalu menemui mantan istrinya yang dijual itu.
Beruntunglah ia karena mantan istrinya sangat pengasih, meskipun telah dijual, dia tetap memberikan beberapa buah bacang, bahkan secara diam-diam menyelipkan 10 tael (mata uang Tiongkok kuno) ke dalam bacang, dan memberitahu kepadanya: “Ambillah bacang ini, jangan kasih orang lain ya!” Begitu dia pergi, kebetulan seseorang datang menagih utang padanya, “Cepat bayar utangmu!”
“Saya tidak punya uang,” jawabnya.
“Apa, tidak punya uang? Lalu yang ditanganmu itu apa?”
“Makanan!”
“Makanan juga boleh!” Akhirnya bacang itu dirampasnya.
Setelah bacang itu dirampas, dia kembali menemui mantan istrinya. Mantan istrinya bertanya padanya, ”bacangnya mana?” “Dirampas orang!” Katanya. Tepat ketika pembicaraan sampai di situ, si suami yang seorang penebang kayu bakar itu pun pulang, Zhao Wangye kebingungan mencari tempat untuk sembunyi, lalu dia bergegas masuk ke dalam tungku. Si penebang kayu bakar ini kelelahan peluhnya membasahi tubuhnya sambil memikul setumpuk kayu bakar, dia hendak mandi sekembalinya memotong kayu bakar. Dan dia benar-benar baik terhadap istrinya dengan mengatakan, “Biarlah air panasnya saya yang siapkan.” Istrinya bergegas berkata, “O, jangan! Jangan! Biarlah saya nyalakan!“ Tapi, suami barunya ini bersikeras, lalu mengambil kayu bakar dan dinyalakan di dalam tungku.
Zhao Wangye bersembunyi di dalam dan memutuskan tidak keluar. Di benaknya dia berpikir, “jika saya keluar, sang istri pasti akan dipukul sama suaminya! Dia lebih baik mengorbankan diri, akhirnya dia tewas terbakar hidup-hidup. Setelah tewas terbakar, setiap pagi, siang maupun malam mantan istrinya itu membakar dupa dan sembahyang di depan tungku.
Melihat itu, suaminya bertanya, “Lho! Aneh! Kenapa setiap pagi, siang atau malam kamu selalu menyembahyangi tungku?” Tentu saja dia tidak boleh mengatakan kalau mantan suaminya itu mati terbakar di tungku tersebut, dan dengan sangat terpaksa dia berkata, “Kita manusia bisa hidup di dunia, harus bersyukur pada tungku dan kompor, sebab benda-benda ini memasak nasi untuk kita.” Kemudian belakangan orang-orang merasa kata-katanya memang benar, “Kita harus bersyukur pada tungku dan kompor. Seandainya tidak ada tungku dan kompor, kita tidak bisa hidup!” Lalu, tiap-tiap keluarga menyembahyangi tungku dan kompor di rumah mereka.
Setelah Maharaja Giok mengetahui hal ini, ia mengampuni semua kesalahan Zhao Wangye dan Maharaja Giok menobatkannya sebagai Zhao Wangye (Dewa Dapur), dan memberi perintah kepadanya bahwa setiap 24 Desember tahun Imlek naik ke istana langit untuk memberi laporan yang disebut “Kebaikan di langit, kedamaian di bumi. Demikianlah asal usul legenda tentang Zhao Wangye.

Sejarah Lahirnya Perayaan Imlek

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Chinese: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun”.

Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Cina sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Cina secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi.
Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi “Tahun Tionghoa” dapat jadi tahun 4707, 4706, atau 4646. Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa.
Sejarah Perayaan Imlek
Asal Muasal peringatan Tahun Baru Imlek ini pun mempunyai kisah tersendiri. Zaman dahulu setiap akhir tahun, menjelang pergantian tahun tahun baru, akan muncul sejenis binatang buas yang namanya “Nian”. Nian adalah sesosok monster berkepala mirip singa dengan mulut yang amat lebar. Ia sangat buas dan suka menyedot dan menelan semua makhluk hidup yang ditemuinya. Keganasan Nian ini tentu saja menakutkan manusia. Nian juga dikenal sebagai makhluk yang sombong dan suka membaggakan dirinya. Ia biasanya merajalela setiap akhir tahun, tepatnya tanggal 30 bulan 12 penanggalan Tiongkok. Meneror seluruh penduduk dan memangsa orang dan hewan yang ditemuinya.
Pada setiap akhir tahun orang-orang tionghoa menempelkan kertas merah di setiap pintu dan jendela rumah serta menghidupkan petasan yang bersuara keras. Semuanya itu agar Nian tidak kembali lagi ke bumi, sebab Nian disebutkan takut pada warna merah dan bunyi-bunyian yang keras, orang-orang tionghoa memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung).

kisah cinta

SEPOTONG KISAH CINTA

Seekor burung dara jatuh cinta kepada bunga mawar putih, burung dara sadar mereka “BERBEDA”, tetapi dia tidak pernah menganggap kalau mereka itu berbeda. Hingga suatu waktu si Burung dara mencoba mengutarakan perasaannya kpd mawar putih.

Burung dara : “mawar putih apakah kau mau menerima cintaku?”
Mawar putih : “Kamu ngomong apa sich? kamu kan burung, sedangkan aku
Bunga.”
Sedikit kecewa dengan jawaban mawar putih, sang burung pulang kembali kerumahnya. Akan tetapi keesokan paginya burung datang lagi untuk menemui si mawar putih. Dgn wajah penuh kesungguhan burung kembali menyatakan cintanya kepada mawar putih.
Burung dara : “Wahai mawar aku sungguh-sungguh mencintaimu, ku mohon, terimalah
cintaku.”
Dengan wajah bingung mawar menjawab, “Aku tidak tahu apa aku bisa mencintaimu atau tidak, karena kita berbeda.” Dengan rasa kecewa, sang burung kembali pulang ke sarangnya.
Keesokan harinya sang burung lagi-lagi datang untuk menemui mawar putih, burung dara berkata: “Aku mau melakukan apa saja, asalkan kau mau mencintaiku mawar putih, maka terimalah aku menjadi kekasih hatimu.”
Asal bicara, si mawar putih berkata: “Aku mau mencintaimu burung dara, asalkan kau mampu merubahku menjadi mawar merah.”
Seketika itu burung dara memotong kedua sayapnya dan menebarkan darahnya kepada mawar putih sehingga merubah mawar putih menjadi mawar merah. Dan
sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan darah, burung berkata: “mawar, apakah kau mau mencintaiku?”
Melihat keadaan burung yg sudah mati dihadapannya itu si mawar hanya bisa menangis, menangis dengan penuh penyesalan, bahkan 1000 kata maaf sekalipun tak kan mampu menghidupkan burung dara itu kembali.
Guys, terkadang kita sama seperti si mawar putih, kita selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang kita sendiri, kita selalu mementingkan apa tanggapan orang tentang diri kita apabila kita memilih sesuatu yang “BERBEDA” dari pilihan-pilihan pada umumnya, kita selalu egois dalam menilai segala sesuatunya, kita terkadang berusaha menutup mata dan berkhayal memiliki cinta lain yang lebih sempurna padahal sesungguhnya orang tersebut sudah ada di hadapan kita, dan yang terparah adalah kita selalu mengulur-ulur waktu menyatakan rasa sayang kita terhadap orang-orang yang memang kita sayangi.
Cinta bukan hanya untuk disimpan tapi berjuanglah untuk mendapatkan cinta itu meski harus berakhir pahit. Saran q, mulai hari ini cobalah jujur dengan hatimu sendiri,

CAP GO MEH

Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkian dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama. sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan, artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu.
Setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman sementara para wanita beribadah ke klenteng untuk meminta kecantikan dan keberkahan kepada para dewa. Namanya Sembahyang Bulan Purnama. Para wanita berdoa pada dewa agar wajahnya seperti bulan purnama yang indah, mulus, dan manis. Perayaan ini dirayakan dengan berbagai kegiatan.Di Taiwan cap go meh dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut – suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia.
Di samping itu di Indonesia pada hari perayaan cap go meh juga diadakan Khong yang merupakan acara menggotong replika dewa (shen) dengan joli (tandu) dihiasi dengan berbagai asesoris dengan didominasi warna merah dan kuning emas. Tandu ini digotong belasan laki-laki atau khusus wanita. pada acara Gotong Toa Pekong, satu per satu empat patung dewa diarak. Sesuai kepercayaan umat, arak-arakan dewa itu harus dimulai pukul 13.00. Secara berurutan dewa-dewa yang diarak adalah Kong Co (anjing langit) sebagai pembuka jalan, menyusul Cheng Goan Cheng Kun, Ma Kwan Im, dan Ma Copo. Sebelum replika dewa digotong digelar acara ritual oleh para Tangsin (orang pintar) di dalam ruang vihara.
Para Tangsin yang kerasukan dipercaya sebagai media dewa untuk berkomunikasi dengan manusia. Para Tangsin tidak ragu-ragu untuk menggoreskan tubuhnya dengan senjata tajam sampai memotong lidahnya. Tetesan darah diusap dengan kertas dewa (hu) dan kertas ini menjadi rebutan massa karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, atau membawa keberuntungan. Bahkan, dipercaya sesuai keinginan masing-masing. Seperti mengharapkan jodoh, usahanya supaya maju.

ANGPAO

Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan atau amplop merah. Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu “Ya Sui”, yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak-anak berkaitan dengan pertambahan umur atau pergantian tahun.
Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai “mengusir atau meminimalkan bencana” dengan harapan anak-anak yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.
Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak-anak, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.
Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Konon jumlah uangnya harus kelipatan 4. Mungkin bisa Rp 4.000,-, Rp 8.000,-, Rp 40.000,- atau Rp.400.000; tergantung dari kemampuan si pemberi.

GOLEK POTEHI

GOLEK POTEHI

Golek Potehi adalah sebuah pertunjukan boneka atau wayang semacam wayang golek yang dimainkan di atas panggung kecil dan mempertontonkan berbagai kisah klasik Cina.
Potehi berasal dari Poo yang berarti kain, tay yang berarti kantung dan hay yang berarti wayang. Jadi wayang potehi adalah wayang kantung kain. Dan memang badan wayang adalah berupa kantung kain, yang sekaligus menjadi baju si tokoh wayang yang berwarna-warni dan berpola indah.
Di bagian atas kantung ada kepala wayang terbuat dari kayu dan di cat dengan berbagai mimik muka yang berbeda. Ada yang tampak baik hati, ada yang bengis sekali. Kalau pada wayang golek dalang menggerakkan wayang menggunakan tongkat yang tertempel di ujung tangan wayang, dalang wayang potehi memasukkan tangannya ke dalam kantung kain alias badan wayang dan menggunakan jemarinya untuk menggerakkan kepala dan kedua tangan si wayang. Pertunjukan wayang ini mengkisahkan legenda-legenda Cina seperti : Sam Kok, Sam Pek Eng Tay, Li Si Bin, dan cerita lainnya yang digemari oleh etnis tionghoa.
Seni wayang ini aslinya lahir di daratan Cina pada masa Dinasti Jin (abad 3-5) dan berkembang pada masa Dinasti Song (abad 10-13). Konon lahirnya wayang potehi bermula dari adanya lima orang yang akan dijatuhi hukuman mati. Ketimbang bersedih menunggu ajal, mereka berpikir bahwa lebih baik menghibur diri. Maka dengan menggunakan barang-barang yang ada di sel seperti panci dan piring mereka mulai memainkan musik tetabuhan untuk mengiringi permainan wayang. Kaisar yang mendengar bebunyian menarik ini akhirnya memberi mereka pengampunan.
Pada saat pertama masuk ke nusantara wayang ini masih dimainkan dalam bahasa asli suku Hokkian. Namun pada perkembangannya akhirnya cerita dimainkan dalam bahasa Indonesia, yang terdengar khas karena kadang lebih mirip bahasa Indonesia jaman dulu, dengan disisipi istilah-istilah dalam bahasa asli di sana-sini. Iringan musiknya adalah beberapa macam tetabuhan dan semacam rebab.
Seiring berjalannya waktu, wayang potehi menjadi suatu kesenian yang langka. Sedikit orang yang bisa memainkannya, peminatnya pun juga semakin berkurang. Wayang potehi jarang dimainkan. Semakin sedikit generasi yang berminat terhadap kesenian tradisional Cina ini.

CENG BENG (Qing Ming Jie)

Tradisi ceng beng (qing ming jie) adalah tradisi wajib orang tionghoa. Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan setidaknya sekali dalam setahun. Ceng beng selalu jatuh antara tanggal 5 April (kalender masehi) setiap tahun, sepuluh hari sebelum dan sesudah peringatan Ceng beng ini orang – orang pergi ke makam, rumah abu atau pantai untuk berdoa bagi para leluhur yang telah meninggal. Semasa peringatan Ceng beng inilah, makam – makam dibersihkan dan diperbaiki.

Makam leluhur sangat penting artinya bagi orang tionghoa. Penentuan letak makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini dipercaya sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota keluarga lain yang ditinggalkan.
Ceng beng adalah tradisi penting bagi masyarakat tionghoa, karena pada masa inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan memperingati leluhur mereka. Secara bergantian, mereka pun melakukan ritual atau sembahyang (Ceng Beng) dengan berlutut di makam leluhurnya. Pelaksanaan ritual mereka awali dengan membakar dupa. Buah-buahan dan kue yang dibawa tadi, mereka letakkan tepat di depan pusara. Selanjutnya, baju dan celana dari kertas dan uang kertas tersebut mereka bakar.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Pada mulanya, tradisi Ceng beng dicetuskan oleh putra mahkota Chong Er dari Dinasti Tang. Suatu hari karena difitnah oleh salah seorang selir raja, Chong Er terpaksa melarikan diri ke gunung bersama para pengawalnya. Kelaparan karena tidak membawa bekal makanan, salah seorang pengawal bernama Jie Zhitui memotong bagian badannya dan memasaknya untuk sang putra mahkota agar tidak mati kelaparan. Mengetahui pengorbanan pengawal setianya itu, Chong Er merasa sedih, tetapi Jie menghibur sang putra mahkota dan memintanya agar tetap teguh bertahan hingga Chong Er dapat kembali ke istana dan merebut tahta dari selir raja yang telah memfitnahnya.
Tiga tahun lamanya mereka bertahan hidup dalam kelaparan di gunung hingga akhirnya sang selir meninggal dunia. Sepasukan tentara menjemput Chong Er untuk kembali ke istana, saat itu dia melihat Jie Zhitui mengemasi sebuah tikar tua ke atas kuda. Chong Er mentertawakannya dan meminta Jie untuk membuang tikar itu, tetapi Jie menolaknya dan berkata, “hanya penderitaan yang dapat hamba bagi bersama paduka, bukan kemakmuran.” Jie berpamitan kepada Chong Er untuk tetap tinggal di gunung bersama ibunya.
Setelah Chong Er kembali ke istana, dia bermaksud mengundang Jie Zhitui, tetapi Jie tidak berhasil ditemukan. Chong Er memerintahkan tentara untuk membakar hutan digunung itu agar Jie segera keluar menemuinya. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka menemukan Jie Zhitui mati bersama ibunya dibawah pohon willow. Chong Er sangat sedih melihat pengawal setianya itu malah mati karena keinginannya. Sejak itu Chong Er memperingati hari itu sebagai hari Hanshi. Pada saat peringatan Hanshi ini, kaisar tidak mengijinkan siapapun menyalakan api untuk memasak, sehingga peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Perayaan Makanan Dingin.
Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Tradisi ceng beng yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, dan sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan.
Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, hal itu dipercaya bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.
Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon Willow: konon, kebiasaan menancapkan dahan willow (pohon Yangliu), juga demi memperingati Shen Nong Shi, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan willow di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Menurut kepercayaan kuno “Kalau dahan willow hijau, berarti hujan rintik-rintik; kalau dahan willow kering, berarti cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan saja maka pohonnya bisa langsung hidup.

 

TANG CUE

TANG CUE

Dalam tradisi Tionghoa, dikenal dengan festival Dong Zhi (Cina: 冬至; pinyin: dōng Zhi; Musim Dingin Ekstrim), dari tahun ketahun dimusim salju, orang-orang di Tiongkok memakan semacam kue onde-onde dari tepung ketan atau Tang Yuan, sebagai simbol persatuan & keharmonisan sebuah keluarga di akhir tahun.
Dong Zhi adalah festival musim dingin ekstrim atau Winter Solstice Festival yang dirayakan oleh masyarakat Tiongkok dan Asia Timur termasuk suku Tionghoa di Indonesia, perayaan ini biasanya jatuh pada tanggal 22 Desember atau bertepatan dengan hari ibu di Indonesia.
Awal festival ini dimulai dirayakan adalah pada masa dinasti Han (206 SM-220M) dan berlanjut hingga dinasti Tang dan Song (618-1279), sedang pada masa dinasti Qing (1644-1911) perayaan ini bahkan dianggap sama pentingnya dengan perayaan musim semi.
Pada masa Tiongkok kuno, orang-orang suku Tionghoa merayakan Dong Zhi dengan mengunjungi kerabat atau teman-teman sama halnya seperti Tahun Baru Imlek. Festival Tang Cue ini sebagai pesta adat dan menutup tahun, maka dibuat Tang Yuan atau onde (湯圓, orang Indonesia menyebutnya wedang ronde) yg kemudian dimakan bersama keluarga. Konon menurut kepercayaan orang tionghoa setelah makan onde ( Tang yuen ) umur kita akan bertambah satu tahun.
Dalam tradisi keluarga tionghoa membuat onde biasanya dilakukan pada malam hari dan sebelum Onde direbus nampan yang berisi onde selalu di putar searah jarum jam sambil berkata-kata seperti berpantun dengan kata-kata pengharapan seperti berbunyi berikut ini :
圆 哑 圆 , 一 家 年 年 都 团 年 yuán yǎ yuán , yī jiā nián nián dōu tuán nián
yang artinya : Setiap tahun keluarga selalu berkumpul, sehingga hubungan keluarga menjadi selalu harmonis.

dikutip dari blog : vchika.co.cc

SEMBAHYANG ARWAH (King Hoo Ping)

SEMBAHYANG ARWAH (King Hoo Ping)


Menurut kepercayaan masyarakat tionghoa di setiap bulan ke 7 penanggalan cina (Chinese Lunar Calendar) para hantu-hantu akan dibebaskan dari dunia bawah ke dunia nyata selama satu bulan penuh. Dimana hantu-hantu tersebut akan makan sebanyak mungkin sebelum mereka kembali ke dunia bawah di mana mereka akan menderita kembali.
Hantu kelaparan tidak bisa memakan makanan secara fisik. Dikatakan bahwa mereka hanya bisa menghirup aroma dari makan tersebut. Jika anda pernah merasakan makanan yang dibuat dari persembahan sembahyang hantu kelaparan, maka anda akan mendapati makanan tersebut sedikit tidak berasa, sama seperti anda makan dengan menutup hidung anda.
Umat Budha dari Tibet menggambarkan hantu ini seperti bentuk air mata, lehernya yang kecil dan perutnya yang besar. Hantu-hantu ini selamanya kelaparan karena mereka sangat kesakitan ketika makanan melewati tenggorokan mereka yang kecil akan tetapi mereka harus makan banyak untuk bisa mengenyangkan perut mereka yang besar. Beberapa menggambarkan mulut mereka hanya sekecil bola mata dan perutnya sebesar gunung.
Dalam pelaksanaan upacara, disediakan sesaji berupa makanan, minuman dan buah-buahan. Sesaji itu untuk mengenang seolah-olah memperlakukan leluhur ketika masih hidup. Buah-buahan yang disajikan, minimal berupa pisang dan jeruk. Kedua buah itu memiliki arti sangat penting. Pohon pisang selalu tumbuh setiap saat dan ada di mana-mana. Dengan harapan, para umat mendapatkan berkah setiap saat tanpa ada batas waktu. Begitu pula buah jeruk, buah tersebut memiliki isi yang banyak. Harapannya, setiap warga yang berdoa selalu mendapat limpahan berkah yang banyak juga.
Sementara, makanan lain yang disuguhkan berupa tiga daging. Diantaranya, daging ayam, ikan laut dan babi. Ketiganya juga memiliki filosofi tersendiri. Ayam disimbolkan sebagai binatang yang rajin. Mulai pagi hingga sore, kata dia, ayam selalu berkeliaran yang diartikan sebagai rajin bekerja. Manusia juga diharap bisa rajin bekerja seperti filosofi ayam.
Begitu pula ikan laut. Hewan itu diartikan tidak pernah habis kalau dimakan. Sebab, masih terdapat sisa tulangnya. Maknanya, kalau kita sudah rajin bekerja dan mendapat keuntungan, maka harus dihemat. Sedangkan, babi diibaratkan sebagai celengan. Menurutnya, hal itu sebagai simbol bahwa manusia harus pandai menabung untuk hari tua.
Adapun makna yang terkandung dalam sembahyang bulan ketujuh tersebut, sebagai lambang ketakwaan (Shun) manusia sebagai rakyat tuhan (Thian Min) dan bakti anak terhadap arwah ayah bundanya yang sudah meninggal dunia, termasuk pula terhadap arwah leluhurnya, arwah teman-teman, serta arwah umum yang karena satu dan lain hal tidak disembahyangi. Selain itu juga juga mengingatkan kewajiban untuk bertenggang rasa, membantu kepada sesama, yang memang membutuhkan bantuan. Usai pelaksanaan sembahyang ini biasanya diiringi dengan pembagian sejumlah beras beserta sembako lainnya kepada masyarakat yang kurang mampu